Beranda | Artikel
Asyuro dan Pengakuan Kecintaan Kepada Al-Husain
Minggu, 7 Agustus 2022

ASYURO DAN PENGAKUAN KECINTAAN KEPADA AL-HUSAIN

Cinta adalah fitrah (naluri) yang Allah Subhanahu wa Ta’ala fitrahkan kepada manusia. Lawannya adalah benci. Keduanya merupakan amalan hati yang berkaitan (erat) dengan ibadah dan taklif[1] di dalam Islam. Bahkan keduanya adalah tali iman yang paling kuat, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (( أَوْثَقُ عُرَى الإِسْلاَم: أَنْ تُحِبَّ فِي اللهِ، وَتُبْغِضَ فِي اللهِ ))

“Tali Islam yang paling kuat adalah engkau mencintai karena Allah dan membenci karena Allah.” [Shahih al Jaami’]

Syari’at Islam datang dengan manhaj (metode) yang lurus yang memperhatikan kedua tabiat ini di dalam jiwa. Mengarahkan dan menuntun keduanya dengan petunjuk yang benar. Tidak ada di dalamnya ifroth (berlebih-lebihan) dan ghuluw (melampaui batas) tidak pula tafrith (menyepelekan) dan inhilaal (mengabaikan).

Karenanya hendaklah seorang muslim mempelajari manhaj (metode) Islam mengenai cinta dan benci atau mengkonsultasikannya. Terlebih lagi jika terjadi kerancuan mengenai suatu perkara dan terjadi fitnah (kemelut). Melenceng dari manhaj Islam banyak menimbulkan pelbagai penyimpangan dan polemik yang tidak sedikit. Bahkan musuh Allah menjadikannya momentum untuk memperuncing fitnah (kemelut) di tengah ummat dan menyebarkan kesesatan diantara pemeluknya dengan berbagai cara. Boleh jadi permisalan yang paling jelas adalah cinta Ahlulbait. Dimana suatu kelompok berlebih-lebihan kepada sebagian Ahlulbait. Bahkan diantara mereka mengklaim ketuhanan bagi seluruh atau pada perorangannya. Sebagian lagi mengklaim kemaksuman (ketiadaan dosa) dan seterusnya…, sebagaimana yang diketahui sepanjang sejarah agama ini. Dan diantara mereka ada yang justru merendahkan.

Kita disini mencoba untuk melihat permasalahan ini, mencari tahu posisi Ahlussunnah wal Jamaah tentangnya. Diambil dari nukilan-nukilan perkataan sebagian ulama agar seorang muslim mengerti petunjuk agamanya dan dapat membedakan antara yang hak dan yang batil, yang benar dan yang salah, yang jujur dan yang menipu. Terlebih lagi pada waktu-waktu sekarang ini, dimana Syi’ah menyelenggarakan pesta berkabung atas kematian al-Husain Radhiyallahu anhu dengan klaim kecintaan yang sangat. Sementara dipihak yang lain, di sebagian negeri-negeri Islam justru melakukan perayaan kebahagiaan pada hari Asyuro, mengkhususkan jenis-jenis jajanan dan makanan tertentu. Kebanyakan dari mereka tidak mengerti apa dasar dari perayaan tersebut.

Cikal-bakal Kesesatan dan Dusta dalam Perayaan Asyuro
Syaikh Ali Mahfudz berkata, “Setan yang terkutuk telah membuat dua bid’ah dengan sebab terbunuhnya al-Husain:

Pertama : Kesedihan, ratapan, menampar-nampar wajah, menjerit-jerit, menangis, bersin-bersin, membuat acara nostalgia, sampai kepada mencela dan melaknat generasi salaf dan mengaitkan mereka yang tidak terlibat menjadi para pendosa, membacakan kisah-kisah pemikat hati yang mengarah kepada fitnah dimana kebanyakannya adalah kedustaan. Tujuan mereka mencontohkan sunnah sayyi’ah (teladan yang buruk) pada hari itu adalah untuk membuka pintu fitnah dan perpecahan di antara ummat. Perbuatan tersebut tidak dibenarkan secara ijma (konsensus) kaum muslimin. Bahkan menciptakan keluhan dan ratapan serta membangkitkan musibah masa lalu adalah dosa yang paling buruk dan perbuatan haram yang terbesar.

Kedua : Bid’ah kegembiraan dan kebahagiaan. Menjadikan hari Asyuro sebagai hari raya; memakai pakaian dan perhiasan, melebihkan uang belanja keluarga, dan seterusnya.

Hal itu bermula, kala itu di Kuffah terdapat kaum Syi’ah yang berlebih-lebihan dalam mencintai dan memperjuangkan al-Husain, yang dipimpin oleh al-Mukhtar bin Ubaid al-Kadzaab (pendusta), dia seorang roofidhi (berfaham Rofidhah) yang mengaku sebagai nabi. Ada juga kelompok an-Naashibah yang membenci Ali dan keturunannya, yang diantaranya al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqofi (berasal dari daerah Tsaqif).

Telah dinyatakan dalam hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda, “Akan ada di daerah Tsaqif kadzzaab (pendusta) lagi mubiir (pembinasa)”. Mubiir artinya mandor dalam membinasakan orang. Sehingga kala itu pemimpin Syi’ah sebagai pendustanya, dan Naashibi (al-Hajjaj) inilah yang Mubiir (pembinasa).

Satu kelompok membuat-buat kesedihan dan yang satunya lagi membuat-buat kebahagiaan. Kesemua bid’ah itu berlatarbelakang dendam terhadap al-Husain. Demikian juga bid’ah kesedihan dan segala yang diekspresikan oleh pecinta al-Husain merupakan perbuatan yang batil dan merupakan bid’ah yang sesat.

Al-Alaamah Ibnul Izz al-Hanafi berkata: “Sesungguhnya tidak ada yang sah dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Asyuro selain puasa.” [Kitab al-Ibdaa’ fi Mudhar al-Ibtidaa’ hal.270]

Aqidah Ahlussunnah Dalam Mencintai Ahlulbait
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbaad berkata:
Aqidah (keyakinan) Ahlussunnah wal Jamaah adalah pertengahan antara berlebih-lebihan dan merendahkan, antara melampaui batas dan menelantarkan dalam seluruh permasalahan aqidah. Termasuk aqidah mereka mengenai Ahlulbait Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam (keluarga Nabi). Mereka loyal kepada setiap muslim dan muslimah dari keturunan Abdul Muthalib. Demikian pula pada seluruh istri-istri Nabi. Mereka mencintai keseluruhannya dan memuji mereka. Menempatkan mereka pada posisi yang pantas bagi mereka dengan adil dan inshof (seimbang). Tidak dengan hawa nafsu dan membebani diri. Menyadari akan keutamaan siapa yang tergabung pada dirinya antara kemuliaan iman dan kemuliaan nasab (keturunan). Siapapun Ahlulbait dari kalangan sahabat Nabi maka Ahlussunnah mencintainya karena keimanan dan ketakwaannya serta karena persahabatan dan kekerabatannya dengan Nabi. Jika dia bukan sahabat Nabi, maka Ahlussunnah mencintainya karena keimanan dan ketakwaannya juga kekerabatannya dengan Nabi. Mereka memandang bahwa kemuliaan nasab mengikuti kemuliaan iman. Siapa yang Allah berikan keduanya maka telah terkumpul padanya dua kebaikan. Jika dia tidak beriman, maka kemuliaan nasab tidaklah bermanfaat sedikitpun. Allah Azza wa Jalla telah berfirman,

قال الله تعالى : إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda di akhir hadits yang panjang yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya no.2699 dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((ومَن بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ يُسْرَع بِهِ نَسَبُهُ)) رواه مسلم

“Siapa yang dilambatkan oleh amalnya, nasab (keturunannya) tidak dapat mempercepatnya.”

[Lihat kitab Fadhlu Ahlulbait wa Uluwwu Makanatihim ‘Inda Ahlussunnah wal Jamaa’ah (Keutamaan Ahlulbait Dan Tingginya Kedudukan Mereka Bagi Ahlussunnah Wal Jama’ah) yang ditulis oleh Syaikh Abdul Muhsin bin Hamd al-Abbaad al-Badr]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –semoga Allah merahmatinya– dalam kitab al-Aqidah al-Waashitiah mengatakan, “Mereka (Ahlussunnah wal Jama’ah) mencintai Ahlulbait Rosulullah dan loyal kepada mereka. Ahlussunnah menjaga wasiat Rasulullah yang bersabda pada hari ghadir haam[2] :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((أُذَكـِّرُكُم الله فِي أَهْلِ بَيْتِي))

“Aku mengingatkan kalian akan ahlulbaitku (keluargaku).”

Beliau juga berkata kepada pamannya Abbas ketika mengeluh kepadanya bahwa sebagian Quraisy bersikap keras kepada Bani Hasyim:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((وَالذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لاَ يُؤْمِنُوْن حتَّى يُحبُّوكُم لِلهِ وَلِقَرَابَتِي))

“Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah mereka beriman hingga mencintai kalian karena Allah dan juga karena kekerabatan kalian denganku.”

Dan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((إِنَّ اللهَ اِصْطَفَى كِنَانَة مِنْ وَلَد إِسْمَاعِيل، وَاصْطَفَى مِنْ كِنَانَة قُرَيْشًا، وَاصْطَفَى مِنْ قُرَيْش بَنِي هَاشِم، وَاصْطَفَانِي مِنْ بَنِي هَاشِم))

“Sesungguhnya Allah memilih Kinanah dari keturunan Ismail dan memilih dari Kinanah Quraisy dan memilih dari Quraisy Bani Hasyim dan memilihku dari Bani Hasyim.”

Ahlussunnah loyal kepada istri-istri Rasulullah, ibu kaum mukminin dan mengimani bahwa mereka adalah istri-istrinya Shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhirat, terkhusus Khadijah Radhiyallahu anha, ibu dari anak-anaknya. Wanita pertama yang mengimani dan menolong beliau atas kenabiannya. Dia memiliki kedudukan yang tinggi. Demikian juga as-Shiddiqoh binti as-Shiddiiq, Aisyah Radhiyallahu anha. Yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Keutamaan Aisyah dibanding para wanita yang lain seperti keutamaan tsariid (bubur/roti yang dilunakkan) bagi makanan yang lain.”

Ahlussunnah berlepas diri dari jalan orang-orang Rafidhah/Syi’ah yang membenci dan mencela sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga berlepas diri dari jalan orang-orang Nawashib yang menyakiti Ahlulbait dengan ucapan atau perbuatan.

Syaikhul Islam juga mengatakan dalam Majmu Fatawa 28/491: “Demikian pula terhadap Ahlulbait (keluarga) Rasulullah, diwajibkan mencintai, loyal dan menjaga hak mereka.”

Melempar Tuduhan Padahal Mereka Sendiri Terjatuh Kedalamnya
Tuduhan yang dilemparkan orang-orang Rafidhah dan sebagian Sufiah (batiniah) bahwa Ahlussunnah keras terhadap Ahlulbait serta tuduhan-tuduhan dusta lainnya, (pada kenyataannya) justru Ahlussunnahlah yang paling mencintai Ahlulbait dibandingkan yang lain. Ahlussunnah mengetahui hak mereka secara syar’i, tanpa berlebih-lebihan ataupun meremehkan. Buktinya amat banyak dan tidak cukup untuk dipaparkan disini. Diantaranya saja banyak dari Ahlussunnah yang memberi nama anak-anak mereka dengan nama Ahlulbait. Bahkan kebanyakannya dari orang-orang utama dan ulama. Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab memiliki enam putra dan satu putri. Nama-nama mereka  Abdullah, Ali, Hasan, Husain, Ibrohim, Abdulaziz, dan Fatimah. Seluruhnya adalah nama dari Ahlulbait selain Abdulaziz. Pemilihan beliau akan nama putra-putrinya menunjukkan kecintaannya kepada Ahlulbait Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan penghargaannya kepada mereka. Nama-nama itu terulang-ulang pada cucu dan keturunannya.

Sebaliknya, keyakinan Rafidhah hari ini adalah kelanjutan akan kebencian mereka terhadap salafussoleh (generasi pertama ummat). Secara khusus Abu Bakar, Umar, Utsman dan istri-istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan ibu kaum mukminin. Keyakinan yang dibangun di atas keingkaran terhadap al-Quran serta hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ada di tengah-tengah kaum muslimin sekarang ini. Aqidah yang mereka adopsi dari Abdullah bin Saba’ merupakan warisan dari Yahudi pembenci. Dari sisi terakhir ini saja mereka telah menyelisihi Ahlulbait (karena mengambil aqidah Yahudi).

Syi’ah sendiri meriwayatkan bahwa Ali Radhiyallahu anhu menamai putra-putranya dengan nama Khulafaur Rasyidin, Abu Bakar, Umar dan Utsman. Al-Husain, putra Ali juga memberi nama putra-putranya dengan Abu Bakar dan Umar, demikian pula putra Ali dan putra al-Husain yang lain, mereka menamai anak-anak mereka dengan nama orang-orang pilihan lagi berbakti. Hal itu tidak lain karena kecintaan dan harapan agar menjadi berkah[3]. [Lihat kitab as-Syi’ah wa at-Tasyayu’)

Maka bagaimana orang-orang Rafidhah/Syi’ah mengklaim mencintai Ahlulbait tetapi pada kenyataannya mereka sendiri menyelisihinya?! Kalau begitu siapa yang benar-benar mencintai Ahlulbait?! Siapa yang menyelisihi mereka dan siapa yang meneladani?!

Pengakuan Kecintaan dan Meraup Keuntungan
Klaim kecintaan kepada Ahlulbait menjadi pintu masuk bagi musuh agama ini untuk menyusupkan fitnah dan kesesatan. Bertujuan menghancurkan agama dan menyebarkan perpecahan diantara kaum muslimin. Tema ‘cinta’ memang memiliki pangsa pasar yang besar, terlebih lagi ditaraf masyarakat umum.

Dari pintu inilah seorang Yahudi, Ibnu Saba’ masuk membawa fitnah tasyayu”[4] (penyebaran faham syi’ah), yang kini menjadi penyakit kronis yang menggerogoti persatuan kaum muslimin sekaligus menjerumuskan kelompok mereka yang lain. Faham ini merupakan ancaman yang memiliki target besar yang masih terus dihembuskan sampai hari ini. Para milatannya berusaha menghidupkannya. Dari masa ke masa mereka selalu bersembunyi dan manakala mendapat peluang, mereka tampakkan kebatilan dan kesesatan mereka, untuk menyesatkan dan menjerumuskan manusia.

Doktor Muhammad Abdullah al-Gharib berkata, -yang singkatnya sebagai berikut-: “Sungguh kebatilan telah dilengserkan, yang kala itu berwujud tentara Persia (Iran) yang besar, tunduk manakala berhadapan dengan tentara Islam yang mengangkat bendera kebenaran, menjadi cemeti yang tidak tertundukkan…”

Tidak ada jalan dihadapan tentara Persia yang berjumlah besar atas kekalahan yang mereka derita ketika itu selain menampakkan penerimaan akan Islam. Setelah itu mulailah Persia melakukan pembalasan dendam terhadap kaum muslimin (pribahasa=menggunting dalam lipatan). Mereka mengetahui dengan keyakinan bahwa al-Faaruq, Umar berada dibalik invasi negeri mereka dan yang merampas kedaulatan mereka. Sehingga pembunuhan Umar menjadi awal mula peperangan mereka terhadap agama ini dan pemeluknya.

Rafidhah Majusi (penyembah berhala) masih saja terus memerangi Amirul Mukminin, Umar Ibnu al-Khathab setelah kematiannya. Mereka menjadikan cacian kepada Umar sebagai bagian dari manhaj (metode) dalam bersyi’ah. Hal itu tidak lain karena Umar telah mebersihkan bumi mereka dari kezaliman dan mematikan api (kesyirikan) di rumah-rumah mereka.

Ada Apa Dibalik Kesyi’ahan (pembelaan) Orang-Orang Majusi (penyembah berhala) Terhadap Ahlulbait
Pada tahun 35 H terjadi perselisihan yang terkenal antara Amirul Mukminin, Ali bin Abu Thalib dengan Muawiah bin Abu Sofyan –semoga Allah meridhoi keduanya-. Perselisihan itu tentu menjadi kesempatan yang tidak akan terulang bagi orang-orang majusi, sehingga mereka mengumumkan menjadi syi’ah (pembela) Ali.

Membela Ali adalah sesuatu kebenaran, akan tetapi orang-orang Majusi menginginkan dibalik semua itu perpecahan dikalangan kaum muslimin. Menyeru untuk membela Ahlulbait adalah jualan yang menguntungkan, yang diterima semua kalangan, khususnya bagi orang umum. Siapakah orangnya yang tidak mencintai Ahlulbait Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dibalik seruan mencintai Ahlulbait orang-orang Majusi menginginkan tujuan berikut:

Harus ada dari kalangan keluarga (dinasti Persia), orang yang disucikan untuk dapat memimpin urusan ‘agama’. Dengan membela Ahlulbait berarti telah menghidupkan kembali aqidah Zoroastrianism[5], manu, dan mazdak.

Mereka mengumumkan kepada manusia bahwa Ahlulbait adalah bayangan tuhan di bumi. Mengklaim bahwa imam-imam mereka maksum (tidak punya dosa), yang memiliki kemuliaan dengan hikmah ketuhanan.

Al-Husain Radhiyallahu anhu menikahi Syahrabanu putri Yazdajrad, raja Iran setibanya dia dan keluarganya disana. Pernikahan inilah yang menjadi sebab mengapa orang-orang Iran mati-matian membela al-Husain. Karena mereka melihat bahwa darah yang mengalir pada diri Ali bin al-Husain dan putra-putranya adalah darah Iran dari pihak ibu. [Lihat kitab Wa Ja a Daurul Majus hal.53-58]

Kita Tidak Tahu Apa Akhirnya
Hari ini, kaum Rafidhah merasa mendapatkan kesempatan untuk menyatukan barisan mereka. Terlebih lagi di Iraq dan Negara-negara Khalij[6], setelah tegaknya negara Syi’ah di Iran. Engkau dapati dari mereka berjalan dengan pongah karena merasa mayoritas dan tersebar. Suaranyapun menjadi lantang. Mereka dan kebatilannya menjadi memiliki bobot dan dihargai di negeri sunnah. Yang terlihat nyata dari semua itu adalah kuasa mereka mengekspos perayaan dan acara berkabung mengenang kematian al-Husain Radhiyallahu anhu pada hari Asyuro, khususnya di Iraq. Dimana mereka begitu konsen  mempertontonkan peserta yang mengikuti acara tersebut yang jumlah mencapai ratusan ribu orang, tidak lain inggin menunjukkan eksistensi mereka.

Di negeri lain mereka minta diadakan perayaan resmi dan aktifitas pemerintahan diliburkan. Minta disediakan jam tayang khusus yang menyiarkan acara perayaan mengenang kematian al-Husain. Mereka membuat banyak website yang menyeru kepada kebatilan dan kesesatan mereka. Belum lagi gerakan bawah tanah yang mereka lakukan diberbagai negeri. Orang-orang seakan lupa atau melupakan tindak tanduk mereka (Rafidhah) yang melakukan penipuan dan pengkhianatan sepanjang sejarah. Pengkhianatan mereka terhadap Ahlulbait, yang bermula kepada Ali bin Abu Thalib, lalu al-Hasan dan al-Husain –semoga Allah meridhoi ketiganya-. Kita tidak tahu kapan berakhirnya dan apa pula pengakhirannya. Aktifitas mereka yang mengkhawatirkan perlu diwaspadai.

Lihat penjelasan mengenai bahaya mereka seperti dalam Kitab Rafidhah Fi Biladil Haramain (Kaum Syi’ah di Negeri Haram) yang ditulis oleh Syaikh Nasir bin Sulaiman al-Umar. Di dalamnya terdapat realita yang menyedihkan dan peringatan akan bahaya yang mengancam, berharap kaum muslimin dapat menyadarinya.

[Disalin dari  عاشوراء ودعوى محبة الحسين   Penulis  Syaikh Muhammad Karim, Penerjemah : Syafar Abu Difa , Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad. Maktab Dakwah Dan Bimbingan Jaliyat Rabwah. IslamHouse.com 2011 – 1432]
______
Footnote
[1] Pembebanan untuk menjalankan syari’at agama. Diantara syaratnya adalah berakal dan baligh -pent.
[2]  Satu lembah yang berada di antara Mekkah dan Madinah tepatnya di Juhfah dalam perjalanan beliau bersama para sahabat.
[3] Tapi mengapa orang-orang Syiah membenci tokoh-tokoh itu?!!
[4] Syi’ah secara bahasa artinya pembela. Mereka menamakan diri demikian untuk menarik simpati, padahal sejatinya mereka adalah Rafidhah. -pent.
[5] Ini adalah agama tua masyarkat Iran. Mereka meyakini adanya dua tuhan, satu melambangkan kebaikan dan yang satunya lagi melambangkan kejahatan. Selain itu ada lagi tuhan-tuhan kebaikan lain yang berjumlah 12 tuhan, demikian pula kejahatan. Ajaran ini di bawa oleh seorang filosof dan pelaku kebajikan bernama Zoroaster -pent.
[6] Arab Saudi dan Negara-negara arab di sekitarnya.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/59567-asyuro-dan-pengakuan-kecintaan-kepada-al-husain.html